Kamis, 03 Juli 2014

Shortstory project #1

Serendipity
(n) finding something good without looking fot it.


#1 Abel
“Sinar mentari lembut, paving stone setengah basah dan aroma tanah setelah hujan sore itu selesai,  mempunyai cerita tentang kita; aku harap, kamu selalu mengingatnya,”
Aku menyukai Dio sejak lama, mungkin sejak delapan tahun yang lalu, disaat aku dan Dio masih sama-sama mengenakan seragam putih-merah kebanggaan. Aku mulai menyadari ada yang tidak beres denganku apabila berada di sekitar Dio berawal dari suatu kejadian, saat itu aku baru pulang sekolah menjelang sore, menunggu hujan deras mereda. Dalam perjalanan pulang sebuah mobil jenis sedan berwarna merah mengkilat mengendara dengan sangat laju di jalanan kompleks yang masih basah dan terkesan licin. Kemudian, entah bagaimana caranya sepeda biru muda kesayangan yang selalu membawaku ke sekolah terserempet mobil tersebut. Aku terpelanting, jatuh ke becekan dan menjadi korban tabrak lari. Dengan sisa kekuatan aku bangkit lagi untuk melanjutkan perjalanan, tetapi cobaan belum berhenti sampai disitu, rantai sepedaku ternyata putus dan satu-satunya cara untuk menuju rumah adalah dengan berjalan kaki sambil menuntun sepedaku yang sebenarnya masih terlalu besar untukku. Baru menjauh beberapa langkah dari TKP, suara cempreng Dio yang belum akil balig terdengar samar-samar “Abeeeeeeeeelllll!!!!!” dengan tiba-tiba dia sudah berada disampingku. Dio lalu menemaniku berjalan, dengan menuntun sepedanya yang sangat jelas sehat wal afiat, tapi dia melakukannya, untukku. Sangat mengesankan apabila dilakukan bocah berumur tidak lebih dari delapan tahun. Semenjak saat itu, setiap Dio melakukan hal manis kepadaku, aku salah tingkah.
Kami mulai bersahabat sejak kelas 1 SD, papa Dio adalah teman SMA Papa. Keluarga Dio baru dimutasi dari Jakarta, sejak saat itu dia selalu bermain denganku karena hanya aku anak yang sepantaran dengan dia di kompleks perumahan kami. Dio-lah yang bertanggung jawab atas bakat sepakbola dan bulu tangkisku, Dio yang bertanggung jawab atas hobiku yang unik; bermain game action yang biasa dimainkan oleh anak lelaki,  Dio juga yang bertanggung jawab atas sifat pecicilanku, mungkin Dio jugalah yang bertanggung jawab atas kesukaranku dalam berteman dengan anak-anak perempuan –yang sejatinya takut dengan segala kebrutalanku.
Bertahun-tahun bersababat dengannya jelas membuatku mengerti sifatnya, kelemahannya sampai koleksi aib-aibnya yang aku jamin akan membuat semua perempuan disekolah –Dio’s fansclub, ilfeel tujuh keliling. Hingga kini, disaat seragam kami sudah berganti menjadi putih-abu, disaat Dio berangsur-angsur mulai berubah karena waktu, disaat dia sudah menjadi bintang olahraga yang mengharumkan nama kota kami dan terkenal diseluruh penjurunya. Cinta ini masih ada, akan selalu ada dan dalam takaran yang sama seperti aku pertama mencintainya dulu. Walaupun aku telalu pengecut untuk mengakui bahwa persahabatan kami berdua memang sudah tidak murni lagi. Aku mencintai senyum Dio yang tidak simetris karena gisulnya, aku mencintai mata Dio yang selalu menatap dalam; tatapan yang membuat seluruh gadis disekolah tertegun lalu menahan nafas beberapa detik dan kemudian salah tingkah, aku mencintai ketelmian Dio dengan segala pelajaran yang berkenaan dengan hitung-hitungan bahkan aku juga mencintai Dio sepaket dengan aib termemalukannya, hobi mengupil.
Delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menjaga perasaan yang entah terbalas atau tidak. Tak ada satu orangpun yang mengetahui perasaan ini, hanya hatiku dan Tuhan yang tau. Kini, aku  hanya bisa berharap agar Dio kembali, kembali padaku, menjadi milikku secara utuh, seperti dulu lagi. Bukan milik Vania atau Tyra atau Friska, atau gadis-gadis anggota cheers lainnya. Menurut gossip yang beredar, persahabatan Vania, Tyra dan Friska rusak karena Dio. Dio memilih Vania diantara mereka bertiga. Karena Vania memang gadis idaman setiap lelaki. Vania yang cantik dengan mata kebiruannya, kulit eksotisnya, rambut lurusnya yang pirang alami dan kelihaiannya menciptakan gerakan-gerakan. Kecerdasan kinetiknya tinggi. Vania adalah koreografer untuk cheers, modern dance dan tradisional dance sekolah kami. Awalnya aku merelakan Dio memilih vania, hingga detik ini saat aku melihat dengan jelas Vania sedang menggandeng lelaki lain, lelaki yang tidak kalah famous dengan Dio, saingan berat Dio dalam tiap kompetisi bulu tangkis, Faris. Sejak saat itu, aku bertekad untuk merebut Dio yang dari sebelumnya sudah menjadi milikku. Jadi aku langsung menelfon Nino, pakar terpercaya, sahabatku juga, ketua geng konyol beranggotakan 10 orang termasuk aku dan Dio, Geng yang menjadi bukti bahwa aku menikmati masa-masa SMP-ku.
“Halo, No... aku kerumahmu hari ini ya? Mau balikin komikmu ni, sama aku ada mau cerita juga, sekalian minta saran dan tips-tips jitumu Noooo. 20 menit lagi nyampe Nooo, get ready.”
 Untuk urusan cinta, Nino tidak pernah salah. Hingga kini, walaupun berjauhan, dia masih bisa mempertahankan hubungannya dengan satu-satunya sahabat perempuanku, Clara.


#2 Dio
Maaf, tetapi cinta ini memang tidak  pernah ada untukmu.”
“Bebeb, kamu masa gabisa nonton lagisih hari ini?”
Vania.
Dalam satu jam ini dia tiga kali menelepon, dan mempertanyakan hal yang sama, padahal jelas-jelas dia mengetahui jawabanku. Karena sesungguhnya sejak 3 minggu yang lalu dia selalu mengajakku unutk menyaksikan film yang dia maksud. Dan dia harus mendapat jawaban yang sama.
“Nggak Van, ada yang lebih penting, toh juga filmnya masih bisa kita tonton hari minggu. Udah ya, aku lagi latian ni ntar lagi ada pertandingan buat jagain piala bergilirku. Hari ini sama besok terakhir latian kok. Byee.”
Tak beberapa lama, iPhone ku bergetar lagi, tanda sms, masih dari vania.
Beb yaudah kalo kamu emang sibuk terus belakangan ini, sana urusin aja bulutangkis dan segala kejuaraannya itu, Faris aja sekarang disampingku, dengan sepenuh hati nemenin aku nonton. Lah kamu? Sebenernya pacar aku tuh siapa sih? PACARAN SAMA BULUTANGKIS AJA SANA KAMU. Kita udahan aja! Makasih 3 bulannya yang hambar!
Vania saat ini lebih memilih Faris. Faris dengan darah turkinya, faris yang selalu menjadi lawanku di babak final. Faris yang pernah mengalahkanku telak, 21-9 dan 21-14. Faris yang saat ini mengambil Vania. Entahlah aku harus sedih atau bahagia mengetahuinya. Karena faktanya, aku tidak pernah benar-benar mengerti dengan perasaanku kepada Vania. Selama ini mungkin aku hanya selalu memaksakan diriku. Segala kesempurnaan vania yang selalu puja-puji oleh seluruh anak lelaki disekolah, bagiku terasa amat ‘fairytale’. Lalu kenapa aku memacarinya? Karena aku tidak tega dan tidak tau harus bagaimana untuk menolaknya hari itu, 3 bulan lalu, saat dia menonton pertandingan tingkat provinsi pertamaku. Hanya para anggota cheers yang dipersilahkan menoton sekaligus mendukungku –kebijakan sekolah. Saat itulah aku kalah telak dengan Faris dan dia tetap menyemangatiku. Lalu menyatakan perasaannya kepadaku.
Tapi kenyataannya, aku mencitai gadis menawan yang lainnya lagi. Julukannya ‘dia’ Entah sejak kapan aku mulai tertarik kepada gadis itu, walaupun sekuat tenaga selalu kuabaikan dan kutolak karena aku tak begitu yakin dengan perasaanku sendiri. Karena Dia terlalu susah untuk dicapai, seperti mencapai puncak Mahameru. Semuanya berubah semenjak tiga hari yang lalu, saat aku bertemu dia pertama kali dalam balutan t-shirt soft pink bertuliskan ‘QueenBee!’, seragam latihan anggota cheers. Baru aku tau dia bergabung dengan cheers. Dia menyapaku, dengan senyum sempurnanya. Saat itu aku yakin, aku harus mengejarnya.
I love her because I need to. Bukan karena dia 27 kali lipat lebih menarik dibanding Vania. Aku mencintai rambut seginya yang bergelombang, aku mencintai caranya bebicara dan caranya tertawa; suara yang alami dan tidak terdengar dikalem-kalemkan, aku mencintainya saat dia bergerak lincah dalam klub cheers; walaupun jelas terlihat gerakannya masih kaku.  Sungguh, akhirnya aku mengakui hal yang seharusnya sejak dulu aku yakini, aku mencintainya.
Sambil menunggu pelatihku, aku menelfon Nino, sahabatku. Nino adalah pakar cinta sejati, seluruh siswa di sekolah yang sama dengannya aku jamin pernah meminta advice darinya, mungkin semua kecuali seseorang yang ada dihatiku saat ini, aku tidak pernah tau sekalipun dia terlibat dalam urusan cinta-cintaan.
“Halo, No! lama banget kamu ngangkat nyet! Aku mau cerita penting, kapan bisa? Besok ya di j.co jam 2, aku bayarain sampe kamu tambah bulat pokoknya No. Tunggu besok ya, Loveyou!”
Nino bahkan belum mengucapkan kata lain selain ‘halo’. Dan aku sudah mematikan sambungan. Aku mengenal Nino dengan baik, aku tau dia akan datang.

#3 Nino
“Dua garis yang selalu bersisian tetapi belum ditakdirkan untuk bertubrukan.”
Dio kampret. Semua orang tau itu, aku telah menunggunya 30 menit lebih. Aku telah memesan donat 5 buah –mempertipis dompet. Dan baru sekarang Dio muncul di hadapanku, duduk dengan serampangan lalu mencomot donatku, meneguk oreo blendku dan melahap j.cool ku dengan rakus. Dio kampret.
Wajahnya basah, hasil cuci muka setelah latihan bulutangkis di siang bolong. Dengan tatapan serius Dio berhenti makan dan berkata padaku straight to the point,
“No, aku cinta sama Abel. Menurutmu aku nembaknya kapan dan gimana?”
Lalu aku tersedak.


Berdasarkan kisah nyata, pernah berada di posisi Nino,
Nilam Sitaresmi Franc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar