Serendipity
(n) finding something good without looking fot it.
#1
Abel
“Sinar mentari lembut, paving
stone setengah basah dan aroma tanah setelah hujan sore itu selesai, mempunyai cerita tentang kita; aku harap, kamu
selalu mengingatnya,”
Aku menyukai Dio sejak lama,
mungkin sejak delapan tahun yang lalu, disaat aku dan Dio masih sama-sama
mengenakan seragam putih-merah kebanggaan. Aku mulai menyadari ada yang tidak
beres denganku apabila berada di sekitar Dio berawal dari suatu kejadian, saat
itu aku baru pulang sekolah menjelang sore, menunggu hujan deras mereda. Dalam
perjalanan pulang sebuah mobil jenis sedan berwarna merah mengkilat mengendara
dengan sangat laju di jalanan kompleks yang masih basah dan terkesan licin. Kemudian,
entah bagaimana caranya sepeda biru muda kesayangan yang selalu membawaku ke
sekolah terserempet mobil tersebut. Aku terpelanting, jatuh ke becekan dan
menjadi korban tabrak lari. Dengan sisa kekuatan aku bangkit lagi untuk melanjutkan
perjalanan, tetapi cobaan belum berhenti sampai disitu, rantai sepedaku ternyata
putus dan satu-satunya cara untuk menuju rumah adalah dengan berjalan kaki
sambil menuntun sepedaku yang sebenarnya masih terlalu besar untukku. Baru
menjauh beberapa langkah dari TKP, suara cempreng Dio yang belum akil balig
terdengar samar-samar “Abeeeeeeeeelllll!!!!!” dengan tiba-tiba dia sudah berada
disampingku. Dio lalu menemaniku berjalan, dengan menuntun sepedanya yang
sangat jelas sehat wal afiat, tapi dia melakukannya, untukku. Sangat
mengesankan apabila dilakukan bocah berumur tidak lebih dari delapan tahun. Semenjak
saat itu, setiap Dio melakukan hal manis kepadaku, aku salah tingkah.
Kami mulai bersahabat sejak
kelas 1 SD, papa Dio adalah teman SMA Papa. Keluarga Dio baru dimutasi dari Jakarta,
sejak saat itu dia selalu bermain denganku karena hanya aku anak yang
sepantaran dengan dia di kompleks perumahan kami. Dio-lah yang bertanggung
jawab atas bakat sepakbola dan bulu tangkisku, Dio yang bertanggung jawab atas
hobiku yang unik; bermain game action yang biasa dimainkan oleh anak lelaki, Dio juga yang bertanggung jawab atas sifat
pecicilanku, mungkin Dio jugalah yang bertanggung jawab atas kesukaranku dalam
berteman dengan anak-anak perempuan –yang sejatinya takut dengan segala
kebrutalanku.
Bertahun-tahun bersababat
dengannya jelas membuatku mengerti sifatnya, kelemahannya sampai koleksi
aib-aibnya yang aku jamin akan membuat semua perempuan disekolah –Dio’s
fansclub, ilfeel tujuh keliling. Hingga kini, disaat seragam kami sudah
berganti menjadi putih-abu, disaat Dio berangsur-angsur mulai berubah karena waktu,
disaat dia sudah menjadi bintang olahraga yang mengharumkan nama kota kami dan
terkenal diseluruh penjurunya. Cinta ini masih ada, akan selalu ada dan dalam
takaran yang sama seperti aku pertama mencintainya dulu. Walaupun aku telalu
pengecut untuk mengakui bahwa persahabatan kami berdua memang sudah tidak murni
lagi. Aku mencintai senyum Dio yang tidak simetris karena gisulnya, aku
mencintai mata Dio yang selalu menatap dalam; tatapan yang membuat seluruh
gadis disekolah tertegun lalu menahan nafas beberapa detik dan kemudian salah
tingkah, aku mencintai ketelmian Dio dengan segala pelajaran yang berkenaan
dengan hitung-hitungan bahkan aku juga mencintai Dio sepaket dengan aib
termemalukannya, hobi mengupil.
Delapan tahun bukanlah waktu
yang sebentar untuk menjaga perasaan yang entah terbalas atau tidak. Tak ada
satu orangpun yang mengetahui perasaan ini, hanya hatiku dan Tuhan yang tau.
Kini, aku hanya bisa berharap agar Dio
kembali, kembali padaku, menjadi milikku secara utuh, seperti dulu lagi. Bukan
milik Vania atau Tyra atau Friska, atau gadis-gadis anggota cheers lainnya. Menurut
gossip yang beredar, persahabatan Vania, Tyra dan Friska rusak karena Dio. Dio
memilih Vania diantara mereka bertiga. Karena Vania memang gadis idaman setiap
lelaki. Vania yang cantik dengan mata kebiruannya, kulit eksotisnya, rambut
lurusnya yang pirang alami dan kelihaiannya menciptakan gerakan-gerakan.
Kecerdasan kinetiknya tinggi. Vania adalah koreografer untuk cheers, modern
dance dan tradisional dance sekolah kami. Awalnya aku merelakan Dio memilih
vania, hingga detik ini saat aku melihat dengan jelas Vania sedang menggandeng
lelaki lain, lelaki yang tidak kalah famous dengan Dio, saingan berat Dio dalam
tiap kompetisi bulu tangkis, Faris. Sejak saat itu, aku bertekad untuk merebut Dio
yang dari sebelumnya sudah menjadi milikku. Jadi aku langsung menelfon Nino,
pakar terpercaya, sahabatku juga, ketua geng konyol beranggotakan 10 orang
termasuk aku dan Dio, Geng yang menjadi bukti bahwa aku menikmati masa-masa
SMP-ku.
“Halo, No... aku kerumahmu hari
ini ya? Mau balikin komikmu ni, sama aku ada mau cerita juga, sekalian minta
saran dan tips-tips jitumu Noooo. 20 menit lagi nyampe Nooo, get ready.”
Untuk urusan cinta, Nino tidak pernah salah.
Hingga kini, walaupun berjauhan, dia masih bisa mempertahankan hubungannya
dengan satu-satunya sahabat perempuanku, Clara.
#2
Dio
“Maaf, tetapi
cinta ini memang tidak pernah ada untukmu.”
“Bebeb, kamu masa gabisa
nonton lagisih hari ini?”
Vania.
Dalam satu jam ini dia tiga
kali menelepon, dan mempertanyakan hal yang sama, padahal jelas-jelas dia
mengetahui jawabanku. Karena sesungguhnya sejak 3 minggu yang lalu dia selalu
mengajakku unutk menyaksikan film yang dia maksud. Dan dia harus mendapat
jawaban yang sama.
“Nggak Van, ada yang lebih
penting, toh juga filmnya masih bisa kita tonton hari minggu. Udah ya, aku lagi
latian ni ntar lagi ada pertandingan buat jagain piala bergilirku. Hari ini
sama besok terakhir latian kok. Byee.”
Tak beberapa lama, iPhone ku
bergetar lagi, tanda sms, masih dari vania.
Beb yaudah kalo kamu emang sibuk terus belakangan ini, sana
urusin aja bulutangkis dan segala kejuaraannya itu, Faris aja sekarang
disampingku, dengan sepenuh hati nemenin aku nonton. Lah kamu? Sebenernya pacar
aku tuh siapa sih? PACARAN SAMA BULUTANGKIS AJA SANA KAMU. Kita udahan aja!
Makasih 3 bulannya yang hambar!
Vania saat ini lebih memilih
Faris. Faris dengan darah turkinya, faris yang selalu menjadi lawanku di babak
final. Faris yang pernah mengalahkanku telak, 21-9 dan 21-14. Faris yang saat
ini mengambil Vania. Entahlah aku harus sedih atau bahagia mengetahuinya.
Karena faktanya, aku tidak pernah benar-benar mengerti dengan perasaanku kepada
Vania. Selama ini mungkin aku hanya selalu memaksakan diriku. Segala
kesempurnaan vania yang selalu puja-puji oleh seluruh anak lelaki disekolah,
bagiku terasa amat ‘fairytale’. Lalu kenapa aku memacarinya? Karena aku tidak
tega dan tidak tau harus bagaimana untuk menolaknya hari itu, 3 bulan lalu,
saat dia menonton pertandingan tingkat provinsi pertamaku. Hanya para anggota
cheers yang dipersilahkan menoton sekaligus mendukungku –kebijakan sekolah.
Saat itulah aku kalah telak dengan Faris dan dia tetap menyemangatiku. Lalu
menyatakan perasaannya kepadaku.
Tapi kenyataannya, aku
mencitai gadis menawan yang lainnya lagi. Julukannya ‘dia’ Entah sejak kapan aku
mulai tertarik kepada gadis itu, walaupun sekuat tenaga selalu kuabaikan dan
kutolak karena aku tak begitu yakin dengan perasaanku sendiri. Karena Dia
terlalu susah untuk dicapai, seperti mencapai puncak Mahameru. Semuanya berubah
semenjak tiga hari yang lalu, saat aku bertemu dia pertama kali dalam balutan
t-shirt soft pink bertuliskan ‘QueenBee!’, seragam latihan anggota cheers. Baru
aku tau dia bergabung dengan cheers. Dia menyapaku, dengan senyum sempurnanya. Saat
itu aku yakin, aku harus mengejarnya.
I love her because I need to.
Bukan karena dia 27 kali lipat lebih menarik dibanding Vania. Aku mencintai
rambut seginya yang bergelombang, aku mencintai caranya bebicara dan caranya
tertawa; suara yang alami dan tidak terdengar dikalem-kalemkan, aku
mencintainya saat dia bergerak lincah dalam klub cheers; walaupun jelas terlihat
gerakannya masih kaku. Sungguh, akhirnya
aku mengakui hal yang seharusnya sejak dulu aku yakini, aku mencintainya.
Sambil menunggu pelatihku,
aku menelfon Nino, sahabatku. Nino adalah pakar cinta sejati, seluruh siswa di
sekolah yang sama dengannya aku jamin pernah meminta advice darinya, mungkin semua
kecuali seseorang yang ada dihatiku saat ini, aku tidak pernah tau sekalipun
dia terlibat dalam urusan cinta-cintaan.
“Halo, No! lama banget kamu
ngangkat nyet! Aku mau cerita penting, kapan bisa? Besok ya di j.co jam 2, aku
bayarain sampe kamu tambah bulat pokoknya No. Tunggu besok ya, Loveyou!”
Nino bahkan belum mengucapkan
kata lain selain ‘halo’. Dan aku sudah mematikan sambungan. Aku mengenal Nino
dengan baik, aku tau dia akan datang.
#3
Nino
“Dua garis yang selalu bersisian
tetapi belum ditakdirkan untuk bertubrukan.”
Dio kampret. Semua orang tau
itu, aku telah menunggunya 30 menit lebih. Aku telah memesan donat 5 buah
–mempertipis dompet. Dan baru sekarang Dio muncul di hadapanku, duduk dengan
serampangan lalu mencomot donatku, meneguk oreo blendku dan melahap j.cool ku
dengan rakus. Dio kampret.
Wajahnya basah, hasil cuci
muka setelah latihan bulutangkis di siang bolong. Dengan tatapan serius Dio berhenti
makan dan berkata padaku straight to the point,
“No, aku cinta sama Abel.
Menurutmu aku nembaknya kapan dan gimana?”
Lalu aku tersedak.
Berdasarkan kisah nyata, pernah
berada di posisi Nino,
Nilam Sitaresmi Franc